Tidak Mengakui Israel: Jalan Menuju Akuntabilitas, Kesetaraan, dan Perdamaian Abadi

Konflik Israel-Palestina, yang telah berlangsung selama lebih dari tujuh
dekade, tetap menjadi salah satu perselisihan paling sulit diselesaikan
dan penuh muatan moral dalam sejarah modern. Negara Israel, yang diakui
oleh 165 negara anggota PBB per 1 Juni 2025, telah dituduh melakukan
pelanggaran sistematis terhadap hukum internasional, termasuk kejahatan
perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida, terutama dalam
operasi militer di Gaza dan Tepi Barat. Mahkamah Internasional (ICJ) dan
Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) telah mengambil langkah-langkah
belum pernah terjadi sebelumnya, dengan Afrika Selatan memimpin kasus
genosida terhadap Israel di ICJ dan ICC menerbitkan surat perintah
penahanan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan
Menteri Pertahanan Yoav Gallant pada tahun 2024. Meskipun
langkah-langkah ini telah diambil, akuntabilitas tetap sulit dicapai,
sebagian besar karena status Israel sebagai negara yang diakui dan
perlindungan yang diterimanya dari sekutu seperti Amerika Serikat. Esai
ini berpendapat bahwa komunitas internasional harus mengambil langkah
berani: tidak mengakui Israel sebagai negara, memutus semua hubungan
diplomatik dan ekonomi, melabeli Pasukan Pertahanan Israel (IDF) sebagai
organisasi teroris, dan menerapkan yurisdiksi universal atas dugaan
penjahat perang dan teroris yang memasuki wilayah mereka.
Langkah-langkah ini tidak hanya akan meminta pertanggungjawaban Israel
tetapi juga menciptakan kesetaraan dalam pembicaraan damai, memaksa
perwakilan Israel dan Palestina untuk bernegosiasi sebagai pihak yang
setara dan mendorong Israel untuk membuat konsesi guna mendapatkan
kembali legitimasi internasional.

1. Dasar Hukum dan Moral untuk Tidak Mengakui Israel

Pengakuan negara menurut hukum internasional, sebagaimana diatur dalam
Konvensi Montevideo 1933, adalah tindakan politik yang bersifat
diskresioner, bukan kewajiban hukum. Sebuah negara harus memiliki
populasi permanen, wilayah yang jelas, pemerintahan, dan kapasitas untuk
menjalin hubungan dengan negara lain. Meskipun Israel memenuhi kriteria
ini secara formal, tindakannya—terutama pendudukan wilayah Palestina
sejak 1967, ekspansi pemukiman, dan operasi militer yang menyebabkan
korban sipil massal—melemahkan legitimasi sebagai negara yang mematuhi
norma internasional. Pendapat penasihat ICJ pada tahun 2024 menyatakan
pendudukan Israel tidak sah, dan kasus genosida yang sedang berlangsung
di ICJ, yang didukung oleh negara-negara seperti Afrika Selatan, Turki,
dan Irlandia, menunjukkan konsensus yang berkembang bahwa perilaku
Israel merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional.

Tidak mengakui Israel akan mencabut status kedaulatannya, menghilangkan
perlindungan hukum yang melindunginya dari akuntabilitas. Sebagai
entitas non-negara, Israel tidak lagi akan mendapatkan manfaat dari
imunitas kedaulatan di pengadilan internasional, dan tindakannya dapat
dinilai berdasarkan kerangka anti-terorisme daripada hukum perang.
Preseden historis ada: Bolivia menarik pengakuan terhadap Israel pada
tahun 2023, dan Venezuela melakukannya pada tahun 2009, dengan alasan
tindakan Israel di Gaza. Jika sejumlah besar negara mengikuti langkah
ini, status kenegaraan Israel akan kehilangan legitimasi, memaksa
perhitungan ulang terhadap kebijakannya.

2. Memutus Hubungan Diplomatik dan Ekonomi

Memutus hubungan diplomatik dan ekonomi akan meningkatkan tekanan pada
Israel untuk mengatasi pelanggarannya. Secara diplomatik, ini berarti
menutup kedutaan, mengusir diplomat Israel, dan menangguhkan partisipasi
Israel dalam forum internasional seperti PBB. Secara ekonomi, ini
melibatkan pemberlakuan sanksi komprehensif, larangan perdagangan, dan
divestasi dari perusahaan-perusahaan Israel, terutama yang terlibat
dalam pendudukan, seperti yang beroperasi di pemukiman ilegal. Gerakan
Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) telah mendapatkan dukungan global,
dengan negara-negara seperti Irlandia dan Spanyol mengambil
langkah-langkah untuk membatasi perdagangan dengan pemukiman Israel pada
tahun 2024. Boikot ekonomi yang lebih luas akan sangat memengaruhi
ekonomi Israel—PDB 2024 sebesar $548 miliar sangat bergantung pada
ekspor, terutama di bidang teknologi dan senjata, ke AS dan UE.

Langkah-langkah ini akan mengisolasi Israel secara internasional, mirip
dengan sanksi yang diberlakukan pada Afrika Selatan era apartheid pada
1980-an, yang akhirnya memaksa rezim tersebut untuk bernegosiasi.
Ketergantungan Israel pada dukungan internasional, terutama dari AS,
yang memberikan bantuan militer tahunan sebesar $3,8 miliar, membuatnya
rentan terhadap tekanan ekonomi yang terkoordinasi. Jika AS, dipengaruhi
oleh perubahan opini publik (misalnya, jajak pendapat Gallup 2024
menunjukkan 55% ketidaksetujuan terhadap tindakan Israel di Gaza),
mengurangi dukungannya, Israel akan menghadapi insentif besar untuk
mengubah kebijakannya.

3. Melabeli IDF sebagai Organisasi Teroris

Melabeli IDF sebagai organisasi teroris akan menjadi konsekuensi alami
dari tidak mengakui Israel. Menurut definisi Global Terrorism Database
(GTD), terorisme melibatkan “ancaman atau penggunaan aktual kekuatan dan
kekerasan ilegal oleh aktor non-negara untuk mencapai tujuan politik,
ekonomi, agama, atau sosial melalui ketakutan, paksaan, atau
intimidasi.” Jika Israel tidak lagi diakui sebagai negara, tindakan
IDF—seperti pemboman kamp tenda Rafah pada tahun 2024 dengan bom
bunker-buster seberat 2.000 pon, yang menewaskan puluhan warga sipil
terlantar, atau memikat warga Palestina yang kelaparan ke titik
distribusi bantuan sebelum menembaki mereka—akan sesuai dengan definisi
ini. Tindakan ini, yang saat ini dinilai sebagai kejahatan perang, akan
diklasifikasikan ulang sebagai terorisme, sejalan dengan bagaimana
tindakan serupa oleh kelompok seperti ISIS atau al-Qaeda diperlakukan.

Implikasi hukumnya sangat besar. Negara-negara dapat menetapkan IDF
sebagai organisasi teroris berdasarkan hukum nasional, seperti daftar
Organisasi Teroris Asing (FTO) AS atau daftar hitam teroris UE,
memungkinkan sanksi, pembekuan aset, dan larangan perjalanan bagi
anggota dan pendukung IDF. Misalnya, individu yang menghasut serangan
terhadap Freedom Flotilla, seperti menenggelamkan kapal yang membawa
aktivis seperti Greta Thunberg, dapat dituntut karena hasutan terhadap
terorisme berdasarkan hukum seperti Undang-Undang Terorisme 2006 Inggris
atau Direktif UE 2017/541. Ini juga akan berlaku bagi mereka yang
memberikan dukungan material kepada IDF, seperti pemasok senjata atau
donatur, berdasarkan kerangka seperti 18 U.S.C. § 2339B di AS.

4. Menerapkan Yurisdiksi Universal

Yurisdiksi universal memungkinkan negara-negara untuk menuntut individu
atas kejahatan internasional serius, seperti terorisme, terlepas dari
tempat kejadian atau kewarganegaraan pelaku. Jika IDF dilabeli sebagai
organisasi teroris, negara-negara dapat menerapkan yurisdiksi universal
atas komandan IDF, tentara, dan pejabat Israel yang memasuki wilayah
mereka. Misalnya, seorang komandan yang bertanggung jawab atas pemboman
Rafah 2024 dapat ditangkap di Spanyol atau Belgia, yang memiliki sejarah
mengejar kasus semacam ini (misalnya, kasus Belgia 2001 terhadap Ariel
Sharon atas pembantaian Sabra dan Shatila).

Surat perintah penahanan ICC pada tahun 2024 untuk Netanyahu dan Gallant
telah menetapkan preseden, tetapi penegakannya terhambat oleh status
non-anggota Israel di ICC dan perlindungan AS. Yurisdiksi universal
mengatasi hambatan ini, karena negara-negara dapat bertindak secara
independen. Ini akan menciptakan ancaman penahanan yang konstan bagi
pejabat Israel yang bepergian ke luar negeri, memperkuat prinsip
Nuremberg bahwa individu bertanggung jawab atas kejahatan internasional,
meskipun mengikuti perintah. Ini juga akan mencegah pelanggaran di masa
depan dengan menunjukkan bahwa impunitas tidak lagi dijamin.

5. Memaksa Kesetaraan dalam Pembicaraan Damai

Salah satu hasil terpenting dari langkah-langkah ini adalah menciptakan
kesetaraan dalam pembicaraan damai Israel-Palestina. Saat ini, Israel
bernegosiasi dari posisi kuat sebagai negara yang diakui dengan militer
yang kuat, didukung oleh AS. Palestina, yang diakui oleh 139 negara
tetapi tidak oleh kekuatan Barat utama, diperlakukan sebagai entitas
non-negara, sering diwakili oleh Otoritas Palestina (PA) atau Hamas,
yang terakhir ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh banyak negara.
Ketimpangan ini melemahkan negosiasi yang bermakna, karena Israel
menghadapi sedikit tekanan untuk membuat konsesi.

Tidak mengakui Israel dan melabeli IDF sebagai organisasi teroris akan
mengubah dinamika ini. Israel akan kehilangan status kenegaraannya,
menempatkannya pada posisi setara dengan perwakilan Palestina. Kedua
belah pihak akan diperlakukan sebagai aktor non-negara, mungkin dengan
kelompok bersenjata (IDF dan Hamas) yang dilabeli sebagai organisasi
teroris. Kesetaraan hukum ini akan memaksa kedua pihak untuk
bernegosiasi tanpa ketimpangan status kenegaraan, mendorong Israel untuk
memenuhi tuntutan utama Palestina, seperti hak kembali, mengakhiri
pendudukan, dan pembentukan negara Palestina yang layak.

Contoh historis mendukung pendekatan ini. Pada 1990-an, rezim apartheid
Afrika Selatan, yang menghadapi isolasi global dan sanksi, dipaksa untuk
bernegosiasi dengan Kongres Nasional Afrika (ANC), yang sebelumnya
dilabeli sebagai kelompok teroris oleh negara-negara Barat. Penetapan
ANC akhirnya dicabut, dan kedua belah pihak bernegosiasi sebagai pihak
yang setara, mengarah pada berakhirnya apartheid. Demikian pula, tidak
mengakui Israel dapat mendorongnya untuk terlibat secara serius dengan
perwakilan Palestina, mengetahui bahwa legitimasi internasional—dan
kelangsungan ekonomi—bergantung pada resolusi yang adil.

6. Memaksa Israel untuk Membuat Konsesi

Untuk mendapatkan kembali pengakuan internasional, Israel perlu membuat
konsesi signifikan. Ini bisa mencakup:

-   Mengakhiri Pendudukan: Membongkar pemukiman ilegal di Tepi Barat dan
    menarik diri dari wilayah yang diduduki, sesuai dengan putusan ICJ
    2024.
-   Menghentikan Operasi Militer di Gaza: Menghentikan serangan udara,
    blokade, dan tindakan lain yang menyebabkan korban sipil, seperti
    operasi Gaza 2024-2025 yang menewaskan lebih dari 45.000 warga
    Palestina, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza.
-   Akuntabilitas atas Kejahatan Perang: Bekerja sama dengan ICC dan
    pengadilan nasional untuk menuntut komandan IDF dan pejabat yang
    bertanggung jawab atas kekejaman, seperti pemboman Rafah atau
    serangan terhadap konvoi bantuan.
-   Mengakui Kenegaraan Palestina: Mendukung kenegaraan penuh Palestina,
    termasuk kontrol atas Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, sebagai
    prasyarat untuk pengakuan kembali.

Insentif untuk mendapatkan kembali pengakuan akan sangat besar. Tanpa
status kenegaraan, Israel akan kehilangan akses ke perdagangan
internasional, sistem keuangan, dan forum diplomatik. Ekonominya, yang
sangat bergantung pada ekspor ke UE dan AS, akan runtuh di bawah sanksi
yang berkelanjutan. Ancaman yurisdiksi universal juga akan mencegah
pejabat Israel bepergian ke luar negeri, menciptakan insentif pribadi
untuk mematuhi. Negara-negara dapat menawarkan jalur yang jelas menuju
pengakuan kembali: menerapkan konsesi ini, menunjukkan kepatuhan
terhadap hukum internasional, dan mendapatkan kembali legitimasi.

7. Menangani Argumen Balasan

Kritikus mungkin berargumen bahwa tidak mengakui Israel berisiko
meningkatkan konflik, berpotensi menyebabkan tindakan ekstrem seperti
Opsi Samson, doktrin nuklir yang diduga dimiliki Israel. Meskipun ini
adalah kekhawatiran yang valid, kemungkinan eskalasi nuklir
rendah—penggunaan senjata nuklir oleh Israel akan memicu pembalasan
global, mungkin melibatkan Iran, Pakistan, China, dan Rusia, dan akan
memastikan kehancurannya sendiri. Lebih mungkin, Israel akan
mengintensifkan operasi konvensional, seperti yang terlihat pada
2024-2025, tetapi ini dapat diatasi dengan pasukan penjaga perdamaian
internasional atau sanksi yang lebih ketat.

Kekhawatiran lain adalah bahwa langkah-langkah ini dapat memberanikan
faksi-faksi Palestina seperti Hamas, yang ditetapkan sebagai kelompok
teroris oleh banyak negara. Namun, kapasitas Hamas untuk meningkatkan
eskalasi terbatas, seperti yang disebutkan sebelumnya—mereka sangat
melemah akibat blokade dan operasi militer Israel. Selain itu, melabeli
IDF sebagai kelompok teroris akan menciptakan kesetaraan, mendorong
kedua belah pihak untuk mengurangi eskalasi guna menghindari
delegitimisasi bersama.

Akhirnya, beberapa pihak mungkin berargumen bahwa tidak mengakui Israel
melemahkan stabilitas hukum internasional dengan mempolitisasi
kenegaraan. Namun, pengakuan negara selalu merupakan tindakan politik,
seperti yang terlihat pada entitas yang diperebutkan seperti Kosovo atau
Taiwan. Menggunakan pengakuan sebagai alat untuk menegakkan
akuntabilitas sejalan dengan prinsip keadilan dan hak asasi manusia yang
mendasari hukum internasional.

8. Kesimpulan

Komunitas internasional memiliki kewajiban moral dan hukum untuk
mengatasi pelanggaran sistematis Israel terhadap hukum internasional.
Tidak mengakui Israel sebagai negara, memutus hubungan diplomatik dan
ekonomi, melabeli IDF sebagai organisasi teroris, dan menerapkan
yurisdiksi universal atas dugaan penjahat perang dan teroris akan
menciptakan tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk
akuntabilitas. Langkah-langkah ini akan memaksa perwakilan Israel dan
Palestina untuk bernegosiasi sebagai pihak yang setara, menciptakan
kesetaraan dalam pembicaraan damai dan mendorong Israel untuk membuat
konsesi—mengakhiri pendudukan, menghentikan operasi militer, dan
mengakui kenegaraan Palestina—untuk mendapatkan kembali legitimasi
internasional. Meskipun risiko eskalasi ada, potensi untuk perdamaian
yang adil dan abadi lebih besar. Saatnya dunia mengambil tindakan
berani, memastikan bahwa keadilan, kesetaraan, dan hak asasi manusia
menang dalam konflik Israel-Palestina.